E168 – KF-21 Boramae Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) memang berliku jalannya.
Lika-liku pembuatan KF-21 Boramae sendiri terjadi lantaran ulah Korsel yang menyakiti hati Indonesia.
Pada 2018 dimana insinyur Indonesia tak diberi akses ke teknologi KF-21 Boramae oleh Korsel.
Padahal perjanjian awal menjelaskan bahwa Indonesia akan menerima teknologi pembuatan KF-21 Boramae. Karena Indonesia akan membuat sendiri 48 unit KF-21 Boramae di dalam negerinya.
Tak diperbolehkannya Indonesia menerima teknologi inti KF-21 Boramae diungkapkan oleh salah satu insinyur Korea Aerospace Industries (KAI).
“Terus terang, delegasi Indonesia dilarang mengakses banyak bagian dari teknologi dan studi KF-X (KF-21 Boramae), terutama yang berkaitan dengan teknologi AS,” kata insinyur itu yang tak mau disebutkan namanya kepada Defense News.
Saking tak mau teknologinya dicuri Indonesia, AS mengirim delegasi ke Korsel.
Tujuannya memagari teknologi inti KF-21 Boramae agar aman dari Indonesia.
“Memang benar insinyur AS yang dikirim ke markas KAI sensitif tentang kemungkinan kebocoran teknologi AS ke pekerja Indonesia,” katanya.
Hal ini menjadi penyebab Indonesia meminta negosiasi ulang KF-21 Boramae.
Indonesia meminta metode pembayaran yang baru dengan menggunakan skema imbal dagang.
Indonesia akan mengganti 30 persen kewajiban membayarnya yang mencapai Rp 20 triliun dalam wujud barang.
Barang yang dimaksud ialah komoditas ekspor seperti minyak sawit, batu bara, gas alam dan lain sebagainya.
Tapi publik Korsel merasa malu bahwa jet tempur canggihnya ditukar dengan minyak sawit oleh Indonesia.
“Di mata masyarakat umum, ada kemungkinan besar bahwa itu akan dianggap sebagai ‘negosiasi yang memalukan’. Pesawat tempur pertama yang kami buat dengan tangan kami sendiri akan ditandai dengan ‘pasokan minyak sawit’,” lapor Hankook Ilbo pada 3 Januari 2022 lalu.
Publik Korsel merasa jika barter minyak sawit ini sebagai preseden buruk bagi kelangsungan bisnis alutsista kedepannya.
“Di atas segalanya, jika minyak sawit menjadi ‘pembayaran dalam bentuk barang pertama’ yang akan dicatat di pedagang senjata Korea, itu akan menjadi referensi konstan untuk transaksi spot di masa mendatang,” tambahnya.
Hankook Ilbo sendiri menilai sikap Indonesia berubah-ubah dalam komitmennya di KF-21 Boramae.
“Alasan mengapa pandangan publik terhadap mitra pembangunan bersama KF-21 tidak baik adalah karena perilaku Indonesia yang berubah-ubah dan tidak dapat diandalkan,” katanya.
Tapi hal itu dilakukan Indonesia karena insinyurnya dianaktirikan dalam pembuatan KF-21 Boramae seperti yang dijelaskan di atas.
Maka wajar Indonesia ngambek, tak sesuai perjanjian di awal namun malah dituduh yang bukan-bukan.
Korsel juga membutuhkan Indonesia dimana setidaknya bila ingin KF-21 Boramae jadi produk sukses maka ia harus terjual minimal 300 unit.
Yang pasti Indonesia akan memperoleh 48 dan Korsel 120 unit.
168 unit KF-21 Boramae dipastikan laku dan sisanya 132 Indonesia bisa memasarkannya atau mengikuti lagi program generasi kelima dan keenam Elang Korea.
Sehingga target minimal 300 unit akan tercapai dan Korsel dapat untung dari program ini.
“Skala ekonomi bekerja, yang membutuhkan produksi lebih dari 300 pesawat tempur untuk menghasilkan keuntungan, tetapi sulit untuk menghasilkan keuntungan dengan hanya 120 pesawat tempur yang akan dikirim ke militer Korea.
Memiliki mitra di Asia Tenggara seperti Indonesia akan memberikan keuntungan bagi KF-21 Boramae dalam mengembangkan pasar di masa depan,” ujar Hankook Ilbo.
Indonesia juga jadi pelanggan setia alutsista buatan negeri Gingseng yang teramat sangat mahal apabila lepas dari genggaman Korsel.
“Indonesia adalah pelanggan pertahanan reguler yang membeli KT-1, pesawat latih pertama yang dikembangkan oleh kami, T-50, pesawat latih canggih supersonik, dan kapal selam kelas Changbogo,” paparnya.
Korsel juga harusnya malu menuding insinyur Indonesia ingin mencuri teknologi KF-21 Boramae karena justru merekalah yang maling data delegasi Indonesia.
“Secara khusus, pada Februari 2011, terjadi insiden di mana staf Badan Intelijen Nasional Korsel membobol asrama utusan khusus Indonesia yang berkunjung ke Korea,” ungkapnya.
Tujuan badan intelijen Korsel melakukan hal itu untuk mengetahui sikap Indonesia yang saat itu hendak membeli T-50 Golden Eagle atau Yak-130 Rusia.
“Saat itu, tujuannya adalah untuk memahami strategi negosiasi Indonesia terkait pembelian T-50,” jelasnya.
Kelakuan badan intelijen Korsel ini terekam kamera, benar-benar aksi amatir seorang agen mata-mata.
Hasilnya, Indonesia tetap membeli T-50 Golden Eagle dan belakangan ini nambah lagi membeli enam unit.
“Terlepas dari ketidakhormatan diplomatik terbesar, Indonesia menutup mata dan membeli T-50, bukan Yak-130 Rusia dan L-159B Ceko, saingan kami saat itu,” jelas Hankook Ilbo.
Publik Korsel harusnya malu menolak minyak sawit Indonesia untuk ditukar KF-21 Boramae karena apa yang dilakukan mereka di atas.
Karena tanpa Indonesia produk pertahanan Korsel macam KF-21 Boramae, T-50 Golden Eagle, pesawat latih KT-1 dan lain sebagainya cuma ampas tak laku dijual ke negara lain.